Go to Facebook.com/Sibolga Tapanuli Tengah

Go to Facebook.com/Sibolga Tapanuli Tengah
Setelah menimbang, mengukur, melihat, mendengar, memperhatikan, melakukan, merasakan,dan lain-lain sebagainya maka diputuskan untuk membuka kegiatan blog ini dihalaman Facebook. com. Silahkan klik gambar diatas.

Selasa, Oktober 27, 2009

Kamis, Oktober 08, 2009

Sibolga dan gempa Sumbar



BAB II
TANGGUNGJAWAB DAN WEWENANG PEMERINTAH DAERAH
DALAM PENANGGULANGAN BENCANA
A. Tanggung Jawab
1. Pemerintah Daerah bertanggungjawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana di wilayahnya.
a. Bupati/Walikota sebagai penanggungjawab utama dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana di wilayahnya.
b. Gubernur memberikan dukungan perkuatan penyelenggaraanpenanggulangan bencana di wilayahnya.

2. Pemerintah Daerah bertanggung jawab untuk:
a. mengalokasikan dan menyediakan dana penanggulangan bencana dalam APBD secara memadai untuk penyelenggaraan penanggulangan bencana, pada setiap tahap pra-bencana,
tanggap darurat dan pasca-bencana.
b. memadukan penanggulangan bencana dalam pembangunan daerah dalam bentuk:
1) mengintegrasikan pengurangan risiko bencana dan penanggulangan bencana dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD), dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD);
2) menyusun dan menetapkan rencana penanggulangan bencana serta meninjau secara berkala dokumen perencanaan penanggulangan bencana.
c. melindungi masyarakat dari ancaman dan dampak bencana, melalui:
1) pemberian informasi dan pengetahuan tentang ancaman dan risiko bencana di wilayahnya;
2) pendidikan, pelatihan dan peningkatan keterampilan dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana;
3) perlindungan sosial dan pemberian rasa aman, khususnya bagi kelompok rentan bencana;
4) pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, penanganan darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi.

d. melaksanakan tanggap darurat sejak kaji cepat, penentuan tingkatan bencana, penyelamatan dan evakuasi, penanganan kelompok rentan dan menjamin pemenuhan hak dasar kepada
masyarakat korban bencana yang meliputi :
1) pangan;
2) pelayanan kesehatan;
3) kebutuhan air bersih dan sanitasi;
4) sandang;
5) penampungan dan tempat hunian sementara;dan
6) pelayanan psiko-sosial.
e. memulihkan dan meningkatkan secara lebih baik:
1) kehidupan sosial-ekonomi, budaya dan lingkungan, serta keamanan dan ketertiban masyarakat;
2) infrastruktur/fasilitas umum/sosial yang rusak akibat bencana.
3. Dalam hal pemerintah daerah tidak memiliki kemampuan sumberdaya untuk penanggulangan bencana, pemerintah daerah yang bersangkutan dapat meminta bantuan kepada Pemerintah.


B. Wewenang
Pemerintah Daerah memiliki kewenanganan dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana yang ditetapkan sbb :
1. Gubernur/Bupati/Walikota:
a. merumuskan dan menetapkan kebijakan penanggulangan bencana sesuai dengan tingkat kewenangan dan karakteristik wilayahnya.
b. menentukan status dan tingkatan keadaan darurat bencana sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
c. mengerahkan seluruh potensi/sumberdaya yang ada di wilayahnya untuk mendukung penyelenggaraan penanggulangan bencana.
d. menjalin kerjasama dengan daerah lain atau pihak-pihak lain guna mendukung penyelenggaraan penanggulangan bencana.
e. mengatur dan mengawasi penggunaan teknologi yang berpotensi sebagai sumber ancaman yang berisiko menimbulkan bencana.
f. mencegah dan mengendalikan penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya alam yang melebihi kemampuan alam pada wilayah kewenangannya.
g. mengangkat seorang komandan penanganan darurat bencana atas usul Kepala BPBD.
h. melakukan pengendalian atas pengumpulan dan penyaluran bantuan berupa uang dan/atau barang serta jasa lain (misalnya relawan) yang diperuntukkan untuk penanggulangan bencana di wilayahnya, termasuk pemberian ijin pengumpulan sumbangan di wilayahnya.
i. menyusun perencanaan, pedoman dan prosedur yang berkaitan dengan penyelenggaraan penanggulangan bencana di wilayahnya.
2. Gubernur/Bupati/Walikota bersama DPRD menyusun dan menetapkan peraturan daerah dalam penanggulangan bencana.

Jumat, Oktober 02, 2009

1 Oktober

P A N C A S I L A S A K T I


Rabu, September 09, 2009

Ramadhan 1430 H Kota Sibolga

Suasana pasar makanan bukaan bulan puasa di Kota Beringin Sibolga

atau


Yang perlu atau tidak (Biaya kegiatan yang tidak giat ini beranggaran Rp. 100 Juta meks!.....)

Senin, September 07, 2009

AWDI Sibolga Tapanuli Tengah

071209 Metro Tapanuli


















Kunjungan ramah tamah Ketua DPW AWDI Sumatera Utara ke Dewan Pimpinan Cabang Asosiasi Wartawan Demokrasi Indonesia (DPC AWDI) Sibolga Tapanuli Tengah (Tapteng)










KODE ETIK JURNALISTIK

Kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan pers adalah hak asasi manusia yang dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB. Kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dalam mewujudkan kemerdekaan pers itu, wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggung jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama.

Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat.

Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik:

Pasal 1

Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.
Penafsiran

a. Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.

b. Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi.

c. Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara.

d. Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain.
Pasal 2

Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.
Penafsiran
Cara-cara yang profesional adalah:

a. Menunjukkan identitas diri kepada narasumber;
b. Menghormati hak privasi;
c. Tidak menyuap;
d. Menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya;
e. Rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang;
f. Menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara;
g. Tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri;
h. Penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik.
Pasal 3

Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
Penafsiran

a. Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu.
b. Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional.
c. Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta.
d. Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.
Pasal 4

Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
Penafsiran

a. Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.
b. Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk.
c. Sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan.
d. Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi.
e. Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu pengambilan gambar dan suara.
Pasal 5

Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
Penafsiran

a. Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak.
b. Anak adalah seorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah.
Pasal 6

Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.
Penafsiran

a. Menyalahgunakan profesi adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum.
b. Suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi.
Pasal 7

Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai dengan kesepakatan.
Penafsiran

a. Hak tolak adalak hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya.
b. Embargo adalah penundaan pemuatan atau penyiaran berita sesuai dengan permintaan narasumber.
c. Informasi latar belakang adalah segala informasi atau data dari narasumber yang disiarkan atau diberitakan tanpa menyebutkan narasumbernya.
d. “Off the record” adalah segala informasi atau data dari narasumber yang tidak boleh disiarkan atau diberitakan.
Pasal 8

Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.

Penafsiran

a. Prasangka adalah anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui secara jelas.
b. Diskriminasi adalah pembedaan perlakuan.
Pasal 9

Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.
Penafsiran

a. Menghormati hak narasumber adalah sikap menahan diri dan berhati-hati.
b. Kehidupan pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya selain yang terkait dengan kepentingan publik.
Pasal 10

Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.
Penafsiran

a. Segera berarti tindakan dalam waktu secepat mungkin, baik karena ada maupun tidak ada teguran dari pihak luar.
b. Permintaan maaf disampaikan apabila kesalahan terkait dengan substansi pokok.
Pasal 11

Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.

Penafsiran

a. Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.
b. Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.
c. Proporsional berarti setara dengan bagian berita yang perlu diperbaiki.


Penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan Dewan Pers. Sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh organisasi wartawan dan atau perusahaan pers.

Jakarta, Selasa, 14 Maret 2006

Kami atas nama organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers Indonesia:

1.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI)-Abdul Manan
2.
Aliansi Wartawan Independen (AWI)-Alex Sutejo
3.
Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI)-Uni Z Lubis
4.
Asosiasi Wartawan Demokrasi Indonesia (AWDI)-OK. Syahyan Budiwahyu
5.
Asosiasi Wartawan Kota (AWK)-Dasmir Ali Malayoe
6.
Federasi Serikat Pewarta-Masfendi
7.
Gabungan Wartawan Indonesia (GWI)-Fowa’a Hia
8.
Himpunan Penulis dan Wartawan Indonesia (HIPWI)-RE Hermawan S
9.
Himpunan Insan Pers Seluruh Indonesia (HIPSI)-Syahril
10. Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI)-Bekti Nugroho
11. Ikatan Jurnalis Penegak Harkat dan Martabat Bangsa (IJAB HAMBA)-Boyke M. Nainggolan
12. Ikatan Pers dan Penulis Indonesia (IPPI)-Kasmarios SmHk
13. Kesatuan Wartawan Demokrasi Indonesia (KEWADI)-M. Suprapto
14. Komite Wartawan Reformasi Indonesia (KWRI)-Sakata Barus
15. Komite Wartawan Indonesia (KWI)-Herman Sanggam
16. Komite Nasional Wartawan Indonesia (KOMNAS-WI)-A.M. Syarifuddin
17. Komite Wartawan Pelacak Profesional Indonesia (KOWAPPI)-Hans Max Kawengian
18. Korp Wartawan Republik Indonesia (KOWRI)-Hasnul Amar
19. Perhimpunan Jurnalis Indonesia (PJI)-Ismed hasan Potro
20. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)-Wina Armada Sukardi
21. Persatuan Wartawan Pelacak Indonesia (PEWARPI)-Andi A. Mallarangan
22. Persatuan Wartawan Reaksi Cepat Pelacak Kasus (PWRCPK)-Jaja Suparja Ramli
23. Persatuan Wartawan Independen Reformasi Indonesia (PWIRI)-Ramses Ramona S.
24. Perkumpulan Jurnalis Nasrani Indonesia (PJNI)-Ev. Robinson Togap Siagian-
25. Persatuan Wartawan Nasional Indonesia (PWNI)-Rusli
26. Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) Pusat- Mahtum Mastoem
27. Serikat Pers Reformasi Nasional (SEPERNAS)-Laode Hazirun
28. Serikat Wartawan Indonesia (SWI)-Daniel Chandra
29. Serikat Wartawan Independen Indonesia (SWII)-Gunarso Kusumodiningrat

Rabu, Agustus 26, 2009

DPRD Sibolga Tapanuli Tengah




















18 Maret 2010

















Januari, 07 2010















(Silahkan klik gambar untuk lebih jelasnya)













Januari 2010

Sakali lai..............
Lama' nyo mamakan gaji buta tu, nan Rp. 8 jt, minta naik gaji pulo manjadi puluhan juta karano mambai utang dan mambayar janji...........tagihan konstituen.......dll. Mantap. Agikan sajo la yo, ma' inda' paccah kalapo...........





DESEMBER

191209
Disalip Tapanuli Tengah dari Sibolga
Rakyat nda paralu taulah...... karajo DPRD manyatujui Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah






071209
Gubsu bilang..."Bah.. dari Walikotanya saja belum disahkan kok saya yang didesak-desak... Tidak mengerti saya....".








041209
Makan Gaji Buta.........









Nopember

7.

181109
Disuruh mundur.....







6.
171109
Pengaduan kewadah yang belum diakui..... Gimana ya jadinya..... Sandiwara sedang terjadi.




5.

141109

Kerja berat nih pimpinan..... yang lain manengge' sajo...




4.
131109






3.
141109






131109








2. 091109











1. 041109










Belum disahkan kok sudah sorot menyoroti
(Mungkin kasihan uang operasional kerja tunjangan tidak terpakai dengan tentunya dibayar dari uang rakyat)

Oktober
5.




Sabtu, 31 Oktober 2009
Sekali lagi masalah sorot menyorot.....


4.









Belum lama katanya tunggu pengesahan Gubsu, hari ini (Kamis 29 Oktober 2009) sudah menyorot-nyoroti .....





3.


( Maju mundur maju mundur maju mundur mundur mundur mundur)





2.











1.






Cc :
- http://www.dpr.go.id/id/

September 2009
( N I H I L )

Pelantikan Anggota DPRD Kota Sibolga tahun 2009 - 2014, tgl 27 Agustus 2009







Prof. DR. Asep Warlan Yusuf, MH. (Pakar Hukum Universitas Parahiyangan) .
Perilaku penyalahgunaan wewenang oleh anggota DPRD (hasil penelitian dari 71 daerah di Indonesia ) yaitu:

1. Rendahnya rasa tanggung jawab dalam mengelola dana publik (cost awarness), sehingga dana yang ada dalam APBD dimanfaatkan dan
digunakan untuk kepentingan anggota Dewan atau eksekutif itu sendiri.
2. Membentuk undang-undang/ perda tanpa dibuat Naskah Akademik terlebih dahulu, sehingga undang-undang/ perda dibuat tanpa ada
kejelasan landasan filosofis, sosiologis dan yuridisnya yang memadai.
3. Membentuk perda inisiatif yang tidak tercantum dalam Prolegnas/Prolegda. Undang-undang/ perda dipaksakan masuk dalam pembahasan
karena kepentingan tertentu. Adanya hidden agenda dengan memanfaatkan perda inisiatif yang dibuat dengan tujuan semata-mata dalam
rangka menguntungkan partainya, golongan atau pihak tertentu saja bukan untuk kepentingan rakyat.
4. UU/perda dibuat tetapi daya waktu berlakunya amat singkat, karenanya memerlukan revisi/perubahan segera. Hal ini terjadi karena dibuat
dengan tidak mempertimbangkan antisipasi perkembangan jangka jauh. Tentunya ini merupakan pemborosan biaya, tenaga, dan waktu.
5. Dengan dalih untuk memperkaya materi muatan undang-undang/ perda yang sedang disusun, anggota Dewan melakukan studi banding ke
luar negeri, tetapi hasilnya sangat minim dan tidak memadai, karena lebih banyak waktu dan kegiatannya diisi dengan rekreasi. Sehingga
materi muatan/substansi undang-undang/ perda tidak mengalami perbaikan dan pengkayaan yang berarti.
6. Perda dibuat hanya untuk kepentingan peningatan PAD semata, dengan konsekuensi secara ekonomi/ finansial memberatkan masyarakat
dan/atau dunia usaha.
7. Perda dibuat untuk memberikan dasar pembenar (jastifikasi/ legalisasi) teradap kegiatan yang merusak atau mencemari lingkungan dan
eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan yang mengabaikan prinsip pembangunan berkelanjutan.
8. Menerima uang atau barang atau sesuatu janji dari pihak di luar Dewan untuk memuat sesuatu kebijakan sesuai permintaan kepentingan
pihak tersebut ke dalam undang-undang/ perda yang sedang dibahas. Undang-undang/ perda dibuat di luar konteks (kerangka) aspirasi
masyarakat.
9. Isi undang-undang/ perda tidak sesuai dengan tujuan pembangunan, Undang Undang Dasar dan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi. Akibatnya undang-undang tersebut kemudian akhirnya dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi atau oleh Pemerintah untuk perda. Hal
ini dianggap sebagai suatu pemborosan keuangan negara/daerah, sesuatu yang sia-sia. Hal ini terjadi karena UU/perda dibuat dengan penuh
vested interest, sembrono dan ketidakcermatan.
10. Adanya oligarki (kelompok/elit tertentu) yang karena jabatannya dapat menentukan kata akhir untuk menerima dan menolak suatu
RUU/raperda.
11. UU/Perda dibentuk untuk sekedar memenuhi aspek formal, tidak sesuai dengan kebutuhan negara/masyarakat. Substansinya sangat lemah
dan apa adanya, serta prosesnya pun tidak mempertimbangkan masukan stakeholders. UU/perda dibuat dengan melanggar atau tidak sesuai
dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sebagaimana diatur dalam UU No. 10/2004.
12. Melibatkan tenaga ahli tetapi sesungguhnya tidak memiliki kualifikasi intelektual, akademik, dan pengalaman yang memadai. Bahkan
"tenaga ahli" ini diambil dari orang-orang partai dan partisannya sendiri yang unqualified dan incompetence. Cara ini dimaksudkan untuk
sekedar pembagian rezeki di antara anggota dewan dan orang-orang parpol dan orang-orang sekitarnya. Pelibatan tenaga ahli hanya
sebatas formalitas (sekedar "pinjam mulut") yang realitanya tidak terlibat. Jadi tujuannya hanya sebatas untuk memperkuat legitimasi.
13. Proses penyusunan undang-undang/ raperda dibuat dengan mengulur-ulur waktu dengan alasan yang tidak rasional dan tidak logis, dengan
maksud untuk menggagalkannya sehingga tidak jadi terbit UU/perda tsb.
14. Pengawasan dari parlemen telah diterjemahkan sebagai sarana mencari kesalahan dan kelemahan pemerintah/eksekuti f secara
mengada-ada atau dibuat-buat.
15. Pengawasan dilakukan cenderung untuk menjatuhkan lawan politik atau pemerintah yang sedang berkuasa.
16. Pengawasan dilakukan untuk mencari imbal jasa, keuntungan pribadi dan golongan (money politics).
17. Paradigma pengawasan politik telah mengakibatkan fungsi pengawasan yang sesungguhnya terabaikan, sehingga hasil pengawasan kurang
memberikan manfaat bagi pengelolaan pemerintahan. Pengawasan yang dilakukan, belum memberikan umpan balik (feed back) yang
substansial bagi pengelolaan pemerintahan.
18. Pengawasan dilaksanakan selama ini terkesan sporadis dan reaktif, tanpa program, sehingga pengawasan belum mampu untuk mencegah
terjadinya penyimpangan dan melakukan koreksi perbaikan.
19. Pengawasan lebih banyak terfokus dan "terjebak" pada aktivitas pemeriksaan yang berupa kunjungan kerja, akibatnya permasalahan
masyarakat tak terselesaikan dan sering tak muncul jalan keluar menuju perbaikan yang diharapkan oleh masyarakat.
20. Hak masyarakat untuk mengawasi belum sepenuhnya diberikan atau dijamin oleh negara, sementara DPR/DPRD sebagai wakil rakyat, belum
optimal mengkoordinasikan serta menyalurkan hak-hak pengawasan masyarakat. Saluran melalui para wakilnya tidak mampu masuk dan
menembus gedung parlemen. Sementara keberanian masyarakat untuk langsung menyuarakan haknya ke pemerintahan masih belum
muncul karena takut atau apatis.
21. Meminta bagian/komisi/ fee dari hasil kerjasama dengan pihak ketiga antara lain dalam pengadaan dan/atau penjualan barang dan jasa
yang seharusnya masuk ke kas negara/daerah.
22. Menerima pemberian dalam berbagai bentuk, yang patut diketahui pemberian tersebut berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan
dengan kewajiban atau tugasnya, sehingga perbuatan ini dapat dikualifikasi sebagai gratifikasi.


Ucapan terima kasih khusus disampaikan kepada KNPI Kota Sibolga